Ilmu Klenik adalah Pengetahuan yang menjelaskan hal-hal yang gaib. Hal-hal yang bersifat tersembunyi. Wilayah misteri. Salah satu ilmu atau pengetahuan yang ada diwilayah klenik adalah agama. Banyak hal dalam agama yang tidak dapat diuji kebenarannya (diverifikasi). Kebenarannya hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menempuh ilmu makrifat. Bagi orang awam kebenaran agama cukup diyakini. Ini klenik namanya! Namun jangan salah terima, ini tidak berarti agama menyesatkan orang. Tidak demikian. Hal-hal yang bersifat klenik pun dimaksudkan untuk kesejahteraan manusia. Bukan untuk mendorong manusia ke dunia gelap.
Banyak orang yang salah anggapan. Klenik disamakan dengan upaya mengarang agar cocok hasilnya. Orang yang menganggap klenik sebagai othak-athik mathuk, maka ia dapat disamakan dengan Marx yang menganggap agama sebagai candu. Sungguh naif apabila kita tidak memahami suatu ilmu, lalu ilmu itu kita golongkan ke dalam tahayul atau klenik yang selama ini dipahami oleh banyak orang, yaitu othak-athik mathuk.
Klenik sering dikaitkan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia ghaib, paranormal, dukun, mahluk halus, jimat, jin, siluman dan sejenisnya. Jika kita bicara klenik maka yang dipikirkan adalah hal-hal yang tidak dapat dilihat dengan mata dan dianggap mempunyai hubungan langsung dengan manusia.
Heboh di dunia klenik dan kaitannya dengan politisi dimulai ketika Akademisi dan Sejarawan JJ Rizal menilai banyak politikus melakukan hal-hal berbau klenik untuk memperlancar karir politik, termasuk salah satu pelakunya adalah PPL. Tindakan PPL nyekar ke makam Pangeran Jayakarta sebelum naik menjadi Gubernur adalah salah satu bagian dari aktivitas klenik yang dilakukan. Wasekjen PDIP DMP Kristianto menegaskan aktivitas nyekar ke makam Pangeran Jayakarta sebelum PPL naik jadi Gubernur tak bisa diartikan sebagai klenik. Dia menilai nyekar ke sebuah makam itu merupakan hal yang biasa di Indonesia."Nyekar itu bukan bagian dari klenik, nyekar itu bagian dari budaya," kata DMP saat berbincang dengan detikcom, Kamis (14/11/2013).Pada dasarnya nyekar ke makam merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa. "Kalau nyekar makam itu disebut klenik, berarti misalnya presiden nyekar ke makam pahlawan juga disebut klenik," ujarnya.
DMP mengingatkan, dalam memberikan penilaian terhadap klenik harus diperjelas seperti apa konteksnya. Dia tak setuju jika kegiatan nyekar disebut sebagai salah satu aktivitas berbau klenik."Tolong diperjelas dulu definisi klenik yang dimaksud itu seperti apa," jelas DMP.
Bagi para akademisi, yang selalu menggunakan pola pemikiran ilmiah maka klenik dianggap musrik dan sudah tidak jamannya dipakai pada jaman sekarang ini. Boleh dibilang mereka membuat pernyataan ngawur begitu karena itu memang bukan ranah dan wilayah kekuasaan keilmuan mereka. Sama saja orang ekonomi bicara ilmu tehnik, orang tehnik bicara ekonomi makro. Tidak nyambung, mungkin bisa jadi sangat tidak pas. Ibarat bicara matematika geometri kepada orang buta huruf, bicara rumus integral kepada anak playgroup, bukan pada tempatnya.
Hal yang sama, ketika para pelaku spiritual, klenikus memberikan tanggapan, mereka tidak dapat menjelaskan gambaran secara utuh hubungan antara dunia nyata dan dunia ghaib, dua dunia dalam satu kesatuan. Karena berbicara dengan para akademisi artinya berbicara menggunakan pemikiran ilmiah dan intelektual, dan lagi-lagi, biasanya ini menjadi tidak nyambung, karena memang bukan ranah dan wilayahnya. Akhirnya dua dunia ini hidup sendiri-sendiri.
Saya akan jelaskan secara utuh kaitan dunia nyata dan kaitannya dengan dunia ghaib, dunia klenik. Sebenarnya dua bagian ini berhubungan langsung satu dengan yang lain.
Alam semesta terdiri dari dua dunia, dunia nyata dan dunia tidak nyata. Dunia nyata adalah dunia yang dapat dilihat dengan indra penglihatan secara langsung, sedangkan dunia tidak nyata adalah dunia yang tidak dapat dilihat secara langsung menggunakan indra penglihatan secara langsung. Dunia tidak nyata ini sering disebut dengan dunia ghaib, klenik, perdukunan.
Dapat sedikit memberikan inspirasi berata pentingnya untuk memperdalam ilmu Agama baik itu Tauhid maupun syariat sebagai bekal pondasi untuk mencapai tinggat ketaqwaan dan derajat yang tinggi.Sehinga semoga melalui ulasan Keutamaan dan Hukum Seputar Bulan Sya’ban Yang Shahih Sesuai Sunnah, Kita dapat memmetik pelajaran yang terkandung didalamnya dan mampu mengamalkanya.Dengan Keutamaan dan Hukum Seputar Bulan Sya’ban Yang Shahih Sesuai Sunnah kita bisa ambil yang baiknya saja
Keutamaan dan Hukum Seputar Bulan Sya’ban
Segala puji bagi Alloh, sholawat serta salam semoga tercurah atas Rosululloh, beserta keluarga, para sahabatnya dan orang-orang yang berwala’ padanya. Adapun selanjutnya;
Sesungguhnya bulan Sya’ban disebut sya’ban karena penduduk Arab dahulu memiliki kebiasaan pada bulan itu berpencar untuk menyerbu dan berperang (Fat-hul Bari - Ibnu Hajar).
Bulan yang mulia ini memiliki hukum-hukum yang membedakannya dengan bulan-bulan lainnya.
Keutamaan berpuasa pada bulan Sya’ban
Berpuasa pada bulan sya’ban memiliki keutamaan tidak seperti keutamaan puasa pada bulan-bulan lainnya. Karena itu, Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban.
Dari Ummul Mu’minin ‘Aisyah (rodhiyaAllohu 'anha) berkata:
لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرًا أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ، فَإِنَّهُ كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ
“Tidak pernah Nabi (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) berpuasa pada suatu bulan melebihi puasanya pada bulan Sya’ban. Sesungguhnya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban seluruhnya".
Dan dalam riwayat lain:
كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ كُلَّهُ، كَانَ يَصُومُ شَعْبَانَ إِلَّا قَلِيلًا
"Beliau berpuasa pada bulan sya’ban seluruhnya, beliau berpuasa pada bulan sya’ban kecuali beberapa hari." [Muttafaqun ‘alayh].
Berpuasa sehari pada bulan Sya’ban memiliki nilai yang sama seperti berpuasa dua hari di bulan lain
Diriwayatkan oleh Syaykhon (al-Bukhoriy dan Muslim) dari ‘Imron bin Husayn rodhiyaAllohu 'anhu dari Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam), beliau bersabda padanya:
«أَصُمْتَ مِنْ سَرَرِ هَذَا الشَّهْرِ شَيْئًا؟» قَالَ: لَا، فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا أَفْطَرْتَ مِنْ رَمَضَانَ، فَصُمْ يَوْمَيْنِ مَكَانَهُ»
"Apakah kamu berpuasa sehari saja pada (saror) hari-hari terakhir bulan Sya’ban?" laki-laki itu menjawab, "Tidak." Maka Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) bersabda: “maka jika kamu telah melewati bulan romadhon, berpuasalah dua hari untuk menggantikannya."
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: al-Qurthubiy berkata: “Padanya terdapat tanda yang menunjukkan keutamaan berpuasa pada bulan Sya’ban, dan bahwasannya berpuasa sehari (pada bulan tersebut) setara dengan dua hari berpuasa di bulan lain. Disimpulkan dari sabda beliau dalam hadits tersebut yaitu "maka berpuasalah dua hari untuk menggantikannya"yakni menggantikan hari yang kamu lewatkan dari puasa Sya’ban.
Hikmah memperbanyak puasa di bulan Sya’ban
Usamah bin Zayd rodhiyaAllohu 'anhu bertanya kepada Nabi (shollaAllohu 'alayhi wa sallam), maka ia berkata: "Wahai Rosululloh, Aku tidak pernah melihatmu berpuasa pada satu bulan di antara bulan-bulan lainnya seperti engkau berpuasa pada bulan Sya’ban?" Maka Nabi (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) menjawab dengan berkata:
«ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ»
"Ini adalah bulan yang dilalaikan oleh manusia, di antara Rojab dan Romadhon. Ia adalah bulan di mana diangkatnya amalan-amalan pada Rabb semesta alam. Dan aku suka jika amalanku di angkat sedang aku dalam keadaan berpuasa." [Hadits hasan riwayat an-Nasa’iy].
Maka dari sini menjadi jelaslah bahwasanya memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban memiliki sebab-sebab tertentu. Di antaranya;
Pertama: Lalainya manusia, sedangkan ibadah pada waktu-waktu lalainya manusia memiliki keutamaan yang agung. Dan kami memiliki sejumlah pelajaran yang disebutkan oleh Ibnu Rojab al-Hambaliy dalam kitab “Lathoiful Ma’arif fiima li Mawasimil ‘Am minal Wazhoif”. Di mana dia berkata di antaranya, "Apa yang Alloh tetapkan dari pahala yang melimpah bagi orang yang mengingat-Nya Subhaanah di pasar-pasar (doa memasuki pasar), karena pasar adalah tempat yang melalaikan! Di dalamnya banyak penipuan, suap, riba dan memandang pada sesuatu yang diharamkan … , karena itu Alloh mencatat bagi mereka yang membaca doa masuk ke pasar satu juta kebaikan, menghapus darinya satu juta keburukan, dan megangkat untuknya satu juta derajat.” [Hadits shohih, riwayat an-Nasa’iy dan lainnya].
Dan dari Salman rodhiyaAllohu 'anhu ia berkata,
فَإِذَا صَلَّى النَّاسُ الْعِشَاءَ صَدَرُوا عَلَى ثَلَاثِ مَنَازِلَ: مِنْهُمْ مَنْ عَلَيْهِ وَلَا لَهُ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَهُ وَلَا عَلَيْهِ، وَمِنْهُمْ مَنْ لَا لَهُ وَلَا عَلَيْهِ، ... ... ، وَمَنْ لَهُ وَلَا عَلَيْهِ فَرَجُلٌ اغْتَنَمَ ظُلْمَةَ اللَّيْلِ وَغَفْلَةَ النَّاسِ، فَقَامَ يُصَلِّي فَذَلِكَ لَهُ وَلَا عَلَيْهِ،
“Apabila manusia telah melaksanakan sholat Isya', mereka tergolong menjadi tiga keadaan: Di antara mereka orang yang mendapatkan dosa dan tidak mendapatkan pahala, di antara mereka ada yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa, dan di antara mereka ada yang tidak mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa. Dan orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa adalah seorang yang merampas gelapnya malam dan kelalaian manusia, lalu ia berdiri untuk sholat. Maka dialah orang yang mendapatkan pahala dan tidak mendapatkan dosa.” [Diriwayatkan ath-Thobroniy secara mawquf dengan sanad tidak mengapa baginya]
Dan di antara contohnya adalah sabda beliau (shollaAllohu 'alayhi wa sallam),
«الْعِبَادَةُ فِي الْهَرْجِ كَهِجْرَةٍ إِلَيَّ»
“Ibadah yang dilaksanakan dalam keadaan kekacauan (bernilai) seperti berhijrah kepadaku.” [HR. Muslim].
An-Nawawiy berkata: “Ma’na dari kekacauan di sini adalah fitnah dan bercampur baurnya urusan manusia, dan sebab banyaknya keutamaan-keutamaan ibadah dalamnya adalah karena manusia melalaikannya dan menyibukkan diri darinya dan tidak menyibukkan diri untuk ‘ibadah kecuali hanya beberapa orang saja.”
Sebab yang kedua: Bahwasanya Sya’ban adalah bulan di mana diangkatnya amalan-amalan kepada Alloh, dan berikut adalah 3 macam pengangkatan amal:
Pengangkatan amal harian: Nabi (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ لَا يَنَامُ، وَلَا يَنْبَغِي لَهُ أَنْ يَنَامَ، يَخْفِضُ الْقِسْطَ وَيَرْفَعُهُ، يُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ اللَّيْلِ قَبْلَ عَمَلِ النَّهَارِ، وَعَمَلُ النَّهَارِ قَبْلَ عَمَلِ اللَّيْلِ
“Sesungguhya Alloh Azza wa Jalla tidak tidur dan tidak pantas bagi-Nya untuk tidur, Dia merendahkan dan meninggikan timbangan, mengangkat amalan malam sebelum amalan siang dan amalan siang sebelum alaman malam.”
Dan dalam riwayat lainnya:
وَيُرْفَعُ إِلَيْهِ عَمَلُ النَّهَارِ بِاللَّيْلِ، وَعَمَلُ اللَّيْلِ بِالنَّهَارِ
“dan diangkatnya amalan siang hari dengan amalan malam dan amalan malam hari dengan amalan siang hari”. (Diriwayatkan oleh Muslim)
An-Nawawi berkata: “Diangkat kepada-Nya amalan malam hari sebelum diangkat kepada-Nya amalan siang hari setelahnya. Dan diangkatnya amalan siang hari sebelum diangkatnya amalan malam hari setelahnya. Dan ma’na dari riwayat kedua adalah diangkat kepada-Nya amalan siang hari di awal malam setelahnya, dan diangkat kepadanya amalan malam hari di awal siang setelahnya. Karena sesungguhnya para malaikat yang menjaga membawa naik amalan-amalan malam setelah selesainya di waktu awal siang dan membawa naik amalan-amalan siang setelah selesai di awal malam. WaAllohu a’lam.”
Pengangkatan amal pekanan: Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) bersabda:
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ فِي كُلِّ يَوْمِ خَمِيسٍ وَاثْنَيْنِ، فَيَغْفِرُ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي ذَلِكَ الْيَوْمِ، لِكُلِّ امْرِئٍ لَا يُشْرِكُ بِاللهِ شَيْئًا، إِلَّا امْرَأً كَانَتْ بَيْنَهُ وَبَيْنَ أَخِيهِ شَحْنَاءُ، فَيُقَالُ: ارْكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا، اتْرُكُوا هَذَيْنِ حَتَّى يَصْطَلِحَا
“Diperiksanya amalan-amalan (manusia) pada setiap Senin dan Kamis. Maka Alloh akan mengampuni setiap orang yang tidak menyekutukan Alloh dengan suatu apapun, kecuali seorang hamba yang antara dia dan saudaranya terjadi permusuhan, lalu dikatakan “tinggalkanlah (pengampunan) atas kedua orang ini hingga mereka melakukan perbaikan.” [HR. Muslim].
Nabi (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) bersabda tentang hari Senin dan Kamis :
ذانك تُعْرَضُ فيهما الأَعْمَالُ على رب العالمين فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Kedua hari ini merupakan hari diangkatnya amalan-amalan kepada Robb semesta alam, dan aku suka jika amalanku diangkat dalam keadaan aku berpuasa.” (Hadits Hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi)
Pengangkatan amal tahunan:dilakukan dalam bulan Sya’ban pada setiap tahunnya.Sebagaimana hal itu dijelaskan di dalam hadits yang telah disebutkan
وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
“Ia adalah bulan dimana diangkatnya amalan-amalan pada Robb semesta alam”.
Sebab ketiga: Dalam hadits tersebut juga terdapat isyarat dari Nabi (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) yang menunjukkan adanya hal istimewa lain bulan Sya’ban, yaitu ia merupakan bulan yang terletak diantara bulan rojab yang merupakan bulan haram dan Romadhon yang diagungkan. Maka engkau mendapati bahwa manusia bersungguh sungguh dalam melakukan ibadah mereka di bulan Rojab yang tidak mereka lakukan di bulan Sya’ban!
Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam kitabnya [Tabiyinul ‘Ajab bima Warada fii Syahri Rojab]: “Maka di sini terdapat pemberitahuan bahwasanya Rojab memiliki keserupaan dengan Romadhon, dan manusia sibuk beribadah di bulan Rojab sebagaimana mereka sibuk beribadah di bulan Romadhon dan mereka melalaikan dari memperhatikan ibadah di bulan Sya’ban. Karena itu Nabi (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) berpuasa (di bulan Sya’ban).
Kemudian disebutkan di dalam Atsar dengan sanadnya dari Ummu Azhar bin Sa’id, bahwasanya ia menemui 'Aisyah rodhiyaAllohu 'anha, lalu ia katakan padanya bahwasamya ia sedang berpuasa Rojab, maka 'Aisyah rodhiyaAllohu 'anha berkata padanya
صومي شعبان فإن فيه الفضل
“Berpuasalah pada bulan Sya’ban, karena padanya terdapat keutaman."
Adapun hadits 'Aisyah rodhiyaAllohu 'anha,
ما رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم أكثر صياما منه في شعبان
“Aku tidak pernah melihat Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) berpuasa lebih banyak dari bulan Sya’ban,"
maka nampak di sini keutamaan berpuasa di bulan Sya’ban melebihi bulan lainnya.”
Sebab keempat: Dan di antara hikmah-hikmah puasa Sya’ban juga adalah sebagai latihan untuk melaksanakan puasa Romadhon. Ibnu Rojab berkata: “Dan sungguh telah dikatakan bahwa terdapat ma’na lain dalam puasa Sya’ban, yaitu bahwasanya puasa pada bulan tersebut adalah seperti latihan untuk menghadapi puasa Romadhon agar ia tidak masuk dalam bulan Romadhon di atas kesukaran dan terbebani, tetapi ia telah terlatih dan terbiasa untuk berpuasa dan melaluinya. Dan dengan berpuasa Sya’ban sebelumnya dia mendapatkan manis dan lezatnya berpuasa. Maka ia masuk dalam bulan Romadhon dengan kuat dan bersemangat.” (Lathoiful Ma’arif fiimaa li Mawasimil A’am minal Wazhoif).
Apakah disyariatkan berpuasa di bulan Sya’ban itu sebulan penuh atau sebagiannya?
Dalam hadits 'Aisyah rodhiyaAllohu 'anha sebelumnya, ada dua riwayat, riwayat pertama “Beliau (Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam)) berpuasa Sya’ban seluruhnya” dan riwayat kedua “Beliau berpuasa Sya’ban kecuali sedikit”.
Dan untuk menyatukan kedua riwayat ini, Nampak bahwa Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) berpuasa pada mayoritas hari di bulan Sya’ban. Imam Nawawi berkata: “Dan perkataannya (Aisyah rodhiyaAllohu 'anhu) bahwasanya beliau berpuasa Sya’ban seluruhnya, bahwasanya beliau berpuasa pada bulan Sya’ban kecuali hanya sedikit. Kalimat kedua merupakan penafsiran dari kalimat pertama dan penjelasan perkataannya “seluruhya” yaitu mayoritasnya.” (Syarh Shohih Muslim)
Dan berkata al-Qodhi ‘Iyadh: Dan begitulah ditafsirkannya perkataan, “beliau berpuasa Sya’ban seluruhnya” dan “beliau berpuasa Sya’ban kecuali sedikit darinya”. Dan perkataan kedua menafsirkan perkataan yang pertama. Dan penjelasan dari kalimat ‘seluruhnya’ adalah mayoritas.” [Ikmalul Mu’allim fii Syarhi Shohih Muslim].
Pendapat ini dikuatkan dengan apa yang diriwayatkan Muslim dari Ibnu ‘Abbas rodhiyaAllohu 'anhu ia berkata, “Tidak pernah Nabi (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) berpuasa sebulan penuh kecuali Romadhon.”
An-Nawawi berkata: “Para Ulama’ berkata: Dan sesungguhnya beliau tidak menyempurnakan (puasa sebulan penuh) selain bulan Romadhon agar tidak disangka wajib." [Syarh Shohih Muslim].
Memisahkan antara puasa Sya’ban dan puasa Romadhon
Dari Abu Huroyroh rodhiyaAllohu 'anhu bahwasanya Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) bersabda,
«لاَ يَتَقَدَّمَنَّ أَحَدُكُمْ رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ، إِلَّا أَنْ يَكُونَ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمَهُ، فَلْيَصُمْ ذَلِكَ اليَوْمَ»
"Janganlah salah satu di antara kalian mendahului Romadhon dengan berpuasa satu atau dua hari kecuali bagi seorang yang sedang menjalankan puasa kebiasaannya maka berpuasalah pada hari itu.” [Muttafaqun ‘alaiyh].
Dan dari Ammar bin Yassir rodhiyaAllohu 'anhu ia berkata, "Barangsiapa yang berpuasa pada hari diragukan atasnya, maka sungguh ia telah mendurhakai Abul Qosim." [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya].
Berkata ash-Shon’aniy, “Ketahuilah bahwasanya hari yang meragukan adalah pada hari ke 30 dari Sya’ban, apabila tidak terlihat hilal di malam karena mendung hari yang menutupinya atau keadaan yang serupa dengannya maka bisa jadi ia masuk ke dalam bulan Romadhon atau bisa jadi masuk ke dalam bulan Sya’ban, dan hadits ini dan ma’na yang terkandung dalamnya menunjukkan atas haramnya berpuasa pada hari itu." [Subulus Salam].
Dan dari Atha’, ia berkata: "Aku sedang berada bersama Ibnu Abbas sehari atau dua hari sebelum Romadhon, maka ia mendekatkan padaku makan malamnya lalu ia berkata:
أَفْطِرُوَا أَيُّهَا الصُّيَّامُ ، لا تُوَاصِلُوا رَمَضَانَ شَيْئًا ، وَافْصِلُوا
'Berbukalah wahai orang-orang yang berpuasa! Janganlah kalian menyambung romadhon dengan puasa apapun dan pisahkanlah.'" [Diriwayatkan oleh Abdur Rozzaq dalam Mushonnafnya].
Berkata Ibnu Abdil Barr: "Ibnu Abbas dan orang-orang terdahulu rohimahumulloh menyukai untuk memisahkan antara Sya’ban dan Romadhon dengan berbuka sehari atau beberapa hari, sebagaimana mereka menyukai memisahkan antara sholat fardhu dengan cara berbicara atau berdiri atau berjalan atau maju atau mundur dari tempat mereka." [Al-Istidrok, Al-Jami’ li Madhahib al-Fuqohail Amshor].
Menghitung hilal Sya’ban untuk Romadhon
Dari Abu Huroyroh rodhiyaAllohu 'anhu dia berkata; Rosululloh (shollaAllohu 'alayhi wa sallam) bersabda,
أَحْصُوا هِلَالَ شَعْبَانَ لِرَمَضَانَ
“Hitunglah hilal Sya’ban untuk Romadhon.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dan lainnya)
Berkata al-Mubarokfuriy, “Ahshu –hitunglah– dengan terpotongnya hamzah kata perintah dari al-ihsho’ dan ia pada asalnya adalah menghitung dengan kerikil, maksudnya hitunglah. (hilal Sya’ban) yaitu hari-harinya. “Untuk Romadhon” yaitu karena Romadhon atau untuk memperhatikan puasa Romadhon …”
Dan berkata Ibnu Hajar: yaitu berusaha untuk menghitungnya dan dengan cermat agar engkau meneliti penampakannya dan memperhatikan kedudukannya agar kalian bisa menjangkau hilal Romadhon dengan penglihatan secara pasti sehingga tidak terlewatkan darinya sedikitpun.” [Tuhfatul Ahwadziy fi Syarhi Sunan at-Tirmidzi].
Ya Alloh mudahkanlah bagi kami puasa Sya’ban dan sampaikan kami pada Romadhon
Ya Alloh, limpahkan sholawat serta salam atas Nabi kita Muhammad dan atas keluarganya serta seluruh sahabat beliau.
0 Response to "Keutamaan dan Hukum Seputar Bulan Sya’ban Yang Shahih Sesuai Sunnah"
Post a Comment