Shalat ‘Ied : Adab-Adab dan Hukum-Hukumnya Sesuai Sunnah Nabi - Sedulor Klenik, dunia supranatural atau orang biasa menyebutnya sebuah mitos, klenik,mistik bahkan berbau goib dan menyan tidak terlepas dengan adanyan Shalat ‘Ied : Adab-Adab dan Hukum-Hukumnya Sesuai Sunnah Nabi. Disadari atau tidak masayarakat sering kali malu-malu untuk menyakininya bahkan ada yang menolak akan keberadaannya. Dan tidak sedikit pula yang menyetujui atau bahkan menjadikan suatu hal yang wajar untuk hal seperti itu. Dan disisi lain dari itu ada pula yang cuma mengaitkanya dengan yang bernama budaya atau tradisi semata tanpa adanya hal yang mendasar dari pada sumber yang berkaitan dengan Shalat ‘Ied : Adab-Adab dan Hukum-Hukumnya Sesuai Sunnah Nabi. Dan percaya atau tidak masyarakatpun baru-baru ini acuh tak acuh dengan hal itu. Terlepas dari itu semua mari kita meandangnya sebuah hal keniscayaan yang ada dan sebagai khasanah budaya local yang patutu untuk kita hormati.
Klenik dan Shalat ‘Ied : Adab-Adab dan Hukum-Hukumnya Sesuai Sunnah Nabi memang asik untuk diperbincangkan dan terkadang membuat kita sendiri penasaran akan hal itu.Menurut wikipedia.org --Klenik (di dalam bahasa Jawa) adalah sesuatu yang tersembunyi atau hal yang dirahasiakan untuk umum. Klenik identik dengan hal-hal mistis yang cenderung berkonotasi negatif. Kamus besar bahasa Indonesia dalam versi daring[1] menempatkan klenik sebagai sebuah aktivitas perdukunan. Klenik juga dikaitkan dengan banyak hal yang tidak dapat dicerna dengan akal namun dipercaya oleh banyak orang. Dalam kultur Jawa ada ilmu yang disebut ilmu tua. Yaitu, ilmu yang diajarkan kepada mereka yang sudah matang dalam kesadarannya. Hal ini dimaksudkan agar tidak disalahgunakan, atau disalahartikan. Ilmu yang demikian ini adalah klenik.
Ilmu Klenik adalah Pengetahuan yang menjelaskan hal-hal yang gaib. Hal-hal yang bersifat tersembunyi. Wilayah misteri. Salah satu ilmu atau pengetahuan yang ada diwilayah klenik adalah agama. Banyak hal dalam agama yang tidak dapat diuji kebenarannya (diverifikasi). Kebenarannya hanya bisa dimengerti oleh mereka yang menempuh ilmu makrifat. Bagi orang awam kebenaran agama cukup diyakini. Ini klenik namanya! Namun jangan salah terima, ini tidak berarti agama menyesatkan orang. Tidak demikian. Hal-hal yang bersifat klenik pun dimaksudkan untuk kesejahteraan manusia. Bukan untuk mendorong manusia ke dunia gelap. Banyak orang yang salah anggapan. Klenik disamakan dengan upaya mengarang agar cocok hasilnya. Orang yang menganggap klenik sebagai othak-athik mathuk, maka ia dapat disamakan dengan Marx yang menganggap agama sebagai candu. Sungguh naif apabila kita tidak memahami suatu ilmu, lalu ilmu itu kita golongkan ke dalam tahayul atau klenik yang selama ini dipahami oleh banyak orang, yaitu othak-athik mathuk.
Klenik sering dikaitkan segala sesuatu yang berhubungan dengan dunia ghaib, paranormal, dukun, mahluk halus, jimat, jin, siluman dan sejenisnya. Jika kita bicara klenik maka yang dipikirkan adalah hal-hal yang tidak dapat dilihat dengan mata dan dianggap mempunyai hubungan langsung dengan manusia. Heboh di dunia klenik dan kaitannya dengan politisi dimulai ketika Akademisi dan Sejarawan JJ Rizal menilai banyak politikus melakukan hal-hal berbau klenik untuk memperlancar karir politik, termasuk salah satu pelakunya adalah PPL. Tindakan PPL nyekar ke makam Pangeran Jayakarta sebelum naik menjadi Gubernur adalah salah satu bagian dari aktivitas klenik yang dilakukan. Wasekjen PDIP DMP Kristianto menegaskan aktivitas nyekar ke makam Pangeran Jayakarta sebelum PPL naik jadi Gubernur tak bisa diartikan sebagai klenik. Dia menilai nyekar ke sebuah makam itu merupakan hal yang biasa di Indonesia."Nyekar itu bukan bagian dari klenik, nyekar itu bagian dari budaya," kata DMP saat berbincang dengan detikcom, Kamis (14/11/2013).Pada dasarnya nyekar ke makam merupakan satu dari sekian tradisi yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa. "Kalau nyekar makam itu disebut klenik, berarti misalnya presiden nyekar ke makam pahlawan juga disebut klenik," ujarnya.
DMP mengingatkan, dalam memberikan penilaian terhadap klenik harus diperjelas seperti apa konteksnya. Dia tak setuju jika kegiatan nyekar disebut sebagai salah satu aktivitas berbau klenik."Tolong diperjelas dulu definisi klenik yang dimaksud itu seperti apa," jelas DMP. Bagi para akademisi, yang selalu menggunakan pola pemikiran ilmiah maka klenik dianggap musrik dan sudah tidak jamannya dipakai pada jaman sekarang ini. Boleh dibilang mereka membuat pernyataan ngawur begitu karena itu memang bukan ranah dan wilayah kekuasaan keilmuan mereka. Sama saja orang ekonomi bicara ilmu tehnik, orang tehnik bicara ekonomi makro. Tidak nyambung, mungkin bisa jadi sangat tidak pas. Ibarat bicara matematika geometri kepada orang buta huruf, bicara rumus integral kepada anak playgroup, bukan pada tempatnya. Hal yang sama, ketika para pelaku spiritual, klenikus memberikan tanggapan, mereka tidak dapat menjelaskan gambaran secara utuh hubungan antara dunia nyata dan dunia ghaib, dua dunia dalam satu kesatuan. Karena berbicara dengan para akademisi artinya berbicara menggunakan pemikiran ilmiah dan intelektual, dan lagi-lagi, biasanya ini menjadi tidak nyambung, karena memang bukan ranah dan wilayahnya. Akhirnya dua dunia ini hidup sendiri-sendiri.
Saya akan jelaskan secara utuh kaitan dunia nyata dan kaitannya dengan dunia ghaib, dunia klenik. Sebenarnya dua bagian ini berhubungan langsung satu dengan yang lain. Alam semesta terdiri dari dua dunia, dunia nyata dan dunia tidak nyata. Dunia nyata adalah dunia yang dapat dilihat dengan indra penglihatan secara langsung, sedangkan dunia tidak nyata adalah dunia yang tidak dapat dilihat secara langsung menggunakan indra penglihatan secara langsung. Dunia tidak nyata ini sering disebut dengan dunia ghaib, klenik, perdukunan.
Dapat sedikit memberikan inspirasi berata pentingnya untuk memperdalam ilmu Agama baik itu Tauhid maupun syariat sebagai bekal pondasi untuk mencapai tinggat ketaqwaan dan derajat yang tinggi.Sehinga semoga melalui ulasan Shalat ‘Ied : Adab-Adab dan Hukum-Hukumnya Sesuai Sunnah Nabi, Kita dapat memmetik pelajaran yang terkandung didalamnya dan mampu mengamalkanya.Dengan Shalat ‘Ied : Adab-Adab dan Hukum-Hukumnya Sesuai Sunnah Nabi kita bisa ambil yang baiknya saja
Segala puji bagi Allah, semoga shalawat dan salam selalu tercurah kepada Rasulullah, keluarga, shahabat dan orang-orang yang mencintainya, amma ba’d:
Sesungguhnya hari raya ‘Ied, selain ia adalah hari yang penuh dengan kesenangan, kegembiraan dan kebahagiaan; Allah suka jika bekas-bekas nikmat-Nya tampak pada diri hamba-hamba-Nya, ‘Ied juga merupakan salah satu simbol Dien yang hanif ini dan salah satu syi’ar Islam. Hari ‘Ied mempunya hukum-hukum dan adab-adab yang paten, dan diantara hal yang paling agung dan penting yang berkaitan dengan ‘Ied adalah melakukan shalat pada hari itu, yaitu Shalat ‘Ied.
Definisi ‘Ied:
‘Ied (العيد) secara bahasa adalah: dari kata (عاديعود), seakan-akan mereka kembali kepadanya, dikatakan pula bahwa ‘Ied itu dari kata: (العيدة) karena mereka telah membiasakannya, dan ‘Ied menurut orang Arab adalah: Suatu waktu yang mana kesenangan kembali didalamnya. (al-Qamus al-Muhith, Tajul ‘Arus dan Lisanul ‘Arab).
‘Ied secara istilah adalah: nama sebutan atas suatu perkumpulan yang telah terbiasa dilakukan, dan berulang-ulang pada setiap tahunnya sesuai dengan kebiasaan yang berlaku. Setiap kaum mempunyai ‘Ied (hari raya) yang khusus bagi mereka, mereka pada hari itu berhias, bersenang-senang dan berkumpul didalamnya,
Allah Ta’ala berfirman: Dan untuk setiap umat kami jadikan perayaan agar mereka menyebut nama Allah. (al-Hajj: 34).
Ibnu Abbas berkata: (منسكا) yaitu: (عيدا) (hari raya). (Tafsir Ibnu Katsir).
Dan kaum muslimin memiliki dua hari raya, yaitu ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, tidak boleh mengadakan perayaan pada selain keduanya seperti perayaan-perayaan orang-orang kafir, diantaranya Tahun Baru, Hari Raya Nairuz (yaitu perayaan Tahun Baru kuno yang disambut oleh Iran), Valentine, Hari Raya Syammun Nasim (Hari Raya Mesir kuno) dan lain-lain.
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam datang ke Madinah, pada waktu itu penduduk Madinah mempunyai dua hari khusus untuk bersukacita, maka beliau berkata: Apakah dua hari ini? Mereka menjawab: Dulu di masa jahiliyyah kami bersukacita di dua hari tersebut, maka beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti untuk kalian dengan sesuatu yang lebih baik dari keduanya, yaitu Hari ‘Idul Adha dan ‘Idul Fithri. (Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya).
Allah Ta’ala berfirman: Dan orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka berlalu dengan tetap menjaga kehormatan dirinya. (al-Furqan: 72).
Berkata Abu’ Aliyyah, Thawus, Ibnu Sirin, adh-Dhahak dan Rabi’: (Orang-orang yang tidak memberikan kesaksian palsu) yaitu: Tidak menyaksikan hari raya orang-orang musyrikin (Tafsir Ibnu Katsir).
Hukum Shalat ‘Ied:
Shalat ‘Ied wajib atas setiap individu, maka hukumnya adalah fardhu ‘ain atas segenap kaum muslimin yang mampu lagi mukallaf (yang telah baligh lagi berakal), dan meninggalkannya dengan tanpa udzur adalah berdosa. Ini adalah pendapat Madzhab Abu Hanifah, satu riwayat dari Imam Ahmad, dan ini juga merupakan pendapat sebagian Syafi’iyyah dan Malikiyyah, dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan asy-Syaukaniy Rahimahumullah ajma’in.
Hujjah mereka dalam hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala: Maka shalatlah karena Rabbmu dan berkurbanlah (al-Kautsar: 2), yaitu: “Kerjakanlah Shalat ‘Idul Adha dan berkurbanlah dengan hewan kurbanmu”, dan kata perintah disini menunjukan akan kewajiban, serta, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah meninggalkan Shalat ‘Id, begitu pula para khalifah yang empat, mereka juga tidak pernah meninggalkannya, dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pun juga memerintahkan kepada manusia untuk keluar menunaikan Shalat ‘Id, sampai-sampai beliau juga memerintahkan wanita yang haidh untuk keluar, sebagaimana pula bahwasanya Shalat ‘Id itu menggugurkan kewajiban untuk menunaikan Shalat Jum’at apabila waktunya jatuh pada hari yang bersamaan, karena tidak ada sesuatu yang menggugurkan yang wajib kecuali yang menggugurkan itu mesti perkara yang wajib pula.
Waktu Shalat ‘Ied:
Waktu masuknya Shalat ‘Ied adalah setelah meningginya matahari setinggi tombak dan selesai ketika bergesernya matahari (sebelum Shalat Zhuhur), sedang maksud dari setinggi tombak adalah sekitar seperempat jam setelah terbitnya matahari. Disunnahkan dalam Shalat ‘Idul Fithri untuk mengakhirkan sedikit waktu pelaksanaannya, agar kaum muslimin bisa leluasa dalam menyalurkan Zakat Fitrah. Berbeda halnya dengan sunnah dalam Shalat ‘Idul Adha, maka dalam Shalat tersebut disunnahkan untuk menyegerakannya agar kaum muslimin bisa leluasa menyembelih hewan-hewan sesembelihannya.
Tempat Ditunaikannya Shalat ‘Ied:
Dari Abu Sa’id al-Khudriy Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha menuju mushalla (tempat shalat), maka perkara yang pertama kali beliau memulainya adalah shalat. (Muttafaqun ‘alaihi).
Mushalla disini bukanlah masjid, namun maksudnya adalah suatu tanah lapang yang telah disiapkan untuk shalat. Maka yang pokok dan sunnah adalah engkau menunaikan Shalat ‘Id di tanah lapang, akan tetapi para ahli ilmu membolehkan menunaikannya di masjid jika ada udzur seperti dingin yang menusuk, hujan dan adanya ketakutan.
Sunnah dan Adab Saat Menuju Tempat Shalat:
1. Mandi, berhias dan memakai wangi-wangian
Berkata al-Imam an-Nawawiy: Telah sepakat dari asy-Syafi’i dan para shahabatnya atas disunnahkannya mandi untuk menunaikan Shalat ‘Ied, entah bagi orang yang menunaikan shalat ataupun yang tidak menunaikan, dan begitu pula mereka sepakat atas disunnahkannya memakai minyak wangi, membersihkan diri dengan mencukur rambut, dan memotong kuku, serta membersihkan bau yang tidak sedap yang keluar dari badan dan pakaiannya. (al-Majmu’).
2. Memakai pakaian terbaik
Berkata al-Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah tentang petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam dua Hari Raya: Adalah beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam memakai pakaian terbaik ketika hendak keluar untuk menunaikan Shalat ‘Ied, dan beliau juga memiliki pakaian khusus yang beliau kenakan ketika hendak menunaikan Shalat ‘Ied dan Shalat Jum’at, dan terkadang beliau mengenakan dua kain Yaman yang berwarna hijau dan pada waktu yang lain mengenakan kain Yaman yang berwarna merah. (Zadul Ma’ad).
Dan Imam al-Baihaqiy meriwayatkan dengan sanad yang shahih bahwasanya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu ketika menunaikan Shalat ‘Ied beliau memilih untuk mengenakan pakaian terbaiknya.
3. Makan sebelum keluar menuju tempat shalat
Dari Anas Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pergi menuju tempat shalat pada Hari Raya ‘Idul Fithri sehingga beliau makan beberapa buah kurma. (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy).
Disunnahkan memakan kurma dalam jumlah ganjil, entah tiga, lima atau tujuh buah kurma, dan barang siapa yang tidak mendapatkan kurma maka hendaklah dia minum air putih atau segala sesuatu yang mubah.
Adapun di Hari Raya ‘Idul Adha, maka disunnahkan agar tidak makan kecuali setelah menunaikan shalat, maka dia makan dari hewan kurbannya bagi orang yang berkurban.
4. Bertakbir
Dari ‘Abdullah ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu bahwasanya beliau pada Hari ‘Idul Fithri atau ‘Idul Adha beliau mengeraskan dan menampakkan suara takbirnya, dan melakukannya sampai beliau tiba ditempat shalat, kemudian beliau kembali bertakbir sampai imam tiba.
Juga telah dinukil dari para Salaf, bahwasanya para sahabat bertakbir lebih keras pada Hari Raya ‘Idul Fithri ketimbang di Hari Raya ‘Idul Adha. (Shahih, dikeluarkan oleh ad-Daruquthniy dan selainnya).
Berkata Imam al-Bukhariy didalam Shahihnya: Adalah ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu bertakbir di tendanya yang berada di Mina, sehingga para hadirin yang berada dimasjid pun mendengarnya, maka mereka pun juga bertakbir dan bertakbir pula orang-orang yang berada di pasar-pasar, sampai-sampai Mina pun bergema dengan suara takbir.
Waktu takbir di Hari Raya ‘Idul Fithri dimulai dari terbenamnya matahari di hari terakhir Ramadhan sampai masuknya imam untuk menunaikan Shalat ‘Ied, adapun di Hari Raya ‘Idul Adha maka takbir dimulai dari waktu fajar di hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) dan berakhir di waktu Shalat ‘Ashar pada hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah).
Lafazh takbir yang tsabit (tetap) adalah:
الله اكبر
الله اكبر
لااله الاالله
و الله اكبر
الله اكبر
والله الحمد
(Allahu Akbar, Allahu Akbar, La ilaha illallahu, Wallahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil hamd).
5. Keluarnya Wanita dan Anak-Anak
Dari Ummu ‘Athiyyah Radhiyallahu ‘anha beliau berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami untuk keluar pada Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha, baik ‘awatiq (wanita yang baru baligh), wanita haidh, maupun gadis yang dipingit, adapun wanita haidh, maka mereka memisahkan diri dari tempat pelaksanaan shalat dan mereka menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. (Muttafaqun ‘alaihi).
6. Melawati jalan yang berbeda ketika berangkat dan pulang dari tempat shalat
Dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam apabila di Hari Raya ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha beliau melawati jalan yang berbeda (antara pulang dan pergi). (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy), dan maksud melewati jalan yang berbeda adalah ketika hendak pergi ketempat shalat dia melalui suatu jalan dan pulang melalui jalan yang lain.
Kaifiyyah (Tata Cara) Shalat ‘Ied:
Berkata ‘Umar Radhiyallahu ‘anhu: Shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha adalah dua raka’at dua raka’at, sempurna dan tidak qashar, dan ini berasal dari lisan Nabi kalian. (Shahih, diriwayatkan oleh Ahmad).
Dan dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha: Takbir di raka’at pertama pada Shalat ‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha adalah tujuh kali takbir, dan di raka’at kedua adalah lima kali takbir, kecuali takbir ketika ruku’. (Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan selainnya).
Diantara petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah bahwasanya beliau membaca surat Qaf di raka’at pertama dan pada raka’at kedua beliau membaca surat al-Qamar, dan sering kali beliau membaca pada raka’at pertama dengan “Sabbihisma Rabbikal a’la” dan “hal ataka haditsul ghasyiyah”. (Riwayat Muslim).
Tata cara Shalat ‘Id adalah dengan bertakbir tujuh kali pada raka’at pertama selain takbiratul ihram, kemudian membaca al-Fatihah dan Surah al-A’la atau Qaf, dan ketika bangkit untuk menegakan raka’at kedua maka bertakbir sebanyak lima kali, kemudian membaca al-Fatihah dan Surah al-Qamar atau al-Ghasyiyah, dan orang yang shalat mengangkat tangannya pada setiap kali takbir, dan apabila ia mendapatkan waktu senggang dari waktu-waktu diantara takbir, hendaknya dia memanfaatkannya dengan berdzikir, seperti dia berucap: “Subhanallahu, wal hamdulillah wa la ilaha illallah wallahu Akbar”, dan selainnya dari dzikir-dzikir yang disyariatkan.
Khutbah ‘Ied:
Disunnahkan bagi imam untuk melakukan khutbah setelah menunaikan shalat dengan satu kali khutbah bukan dua kali, berdiri diatas tanah bukan diatas minbar, karena beginilah yang diperbuat oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan Khulafaur Rasyidin setelahnya.
Berkata Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma: Aku menyaksikan ‘Idul Fithri bersama Nabi Shaullahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, dan mereka menunaikan Shalat ‘Ied sebelum khutbah. (Muttafaqun ‘alaihi).
Peringatan Penting:
1. Tidak ada shalat nafilah (sunnah) sebelum atau setelah Shalat ‘Ied, dari Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam shalat dua raka’at pada hari ‘Idul Fithri, beliau tidak melakukan shalat sebelum atau setelahnya. (Diriwayatkan oleh al-Bukhariy).
Ini apabila shalat diadakan di tanah lapang, adapun jika shalat ditunaikan di masjid, maka hendaklah ia Shalat Tahiyyatul Masjid apabila dia masuk kedalamnya.
2. Tidak ada adzan dan iqamah pada Shalat ‘Id: Dari Jabir ibnu Samurah Radhiyallahu ‘anhu beliau berkata: Aku pernah shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam di dua Hari Raya tidak hanya sekali dua kali, tanpa adanya adzan dan iqamah. (Diriwayatkan oleh Muslim).
3. Mendengarkan khutbah ‘Ied merupakan sunnah bukan wajib (al-Mughniy, Ibnu Qudamah). Berkata Imam an-Nawawiy: Disunnahkan untuk kaum muslimin untuk mendengarkan khutbah, dan bukanlah mendengarkan khuthbah itu merupakan syarat dari keabsahan Shalat ‘Ied, (al-Majmu’), akan tetapi yang lebih utama adalah hendaknya dia mendengarkan khuthbah karena padanya terdapat nasehat dan doa.
4. Wanita yang haidh keluar untuk merayakan ‘Ied tapi bukan untuk shalat, dalam rangka mendengarkan khuthbah, mengaminkan doa yang dipanjatkan oleh khathib, mengharap berkah ‘Id, dan kebaikan lainnya.
5. Wanita hendaknya keluar dengan sopan (tanpa bertabarruj dan memakai wewangian), karena mereka dilarang untuk menampakan perhiasannya kepada lelaki asing.
6. Mengkhususkan malam ‘Ied dengan shalat merupakan perbuatan bid’ah lagi muhdats (diada-adakan).
7. Haram berpuasa pada Hari ‘Ied (‘Idul Fithri dan ‘Idul Adha).
8. Barang siapa yang ketinggalan dalam menunaikan Shalat ‘Ied, maka boleh baginya untuk mengqadhanya dengan dua raka’at, dengan melakukannya secara sendiri, atau bersama jama’ah yang sama-sama belum menunaikannya. Imam al-Bukhariy telah membuat bab khusus tentang hal ini di dalam Shahihnya, yaitu: Bab: Apabila seseorang tertinggal dalam Shalat ‘Id maka hendaknya dia shalat dua raka’at.
Mengucapkan Selamat:
Diantara adab-adab ‘Ied adalah saling mengucapkan selamat dengan kata-kata yang baik, apapun lafazhnya, seperti ucapan mereka dengan sebagian yang lain: (تقبل الله منا و منكم) (Taqabbalallahu minna wa minkum), yang artinya “semoga Allah menerima amal kami dan amal kalian”, atau ucapan: (مبارك عيدكم) (Mubarak ‘Iedukum), artinya “Semoga ‘Ied kalian diberkahi”, atau dengan: (اعاده الله عليكم باليمن و الايمان) (A’adahullahu ‘alaikum bil yumni wal iman), yang artinya “Semoga Allah mengembalikan kalian diatas keberuntungan dan keimanan”, dan ungkapan-ungkapan lain yang dibolehkan.
Ucapan selamat (tanhniah) adalah suatu hal yang ma’ruf dikalangan para shahabat, dan para ahlul ilmi telah memberi rukhshah padanya, berkata al-Hafizh Ibnu Hajar: Telah diriwayatkan kepada kami dengan sanad yang hasan, dari Zubair ibnu Nufair, beliau berkata: Adalah para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, apabila mereka bertemu pada Hari ‘Ied, sebagian mereka berkata kepada sebagian yang lain dengan: Taqabbalallahu minna wa minka. (Fat-hul Bariy).
Berkata al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthiy: Pertanyaan datang tiada habisnya tentang kebiasaan orang-orang mengucapkan selamat pada hari raya, setiap tahun, setiap bulan dan setiap walimah, apakah dia dia termasuk sunnah atau tidak? Maka aku telah menyusun juz khusus tentang masalah tersebut yang aku namakan dengan “Wushul al-Amaniy bi Ushul at-Tahaniy”, kemudian beliau menyebutkan di dalam kitabnya tersebut tentang disyariatkannya tahniah (mengucapkan selamat) diantara sesama kaum muslimin dan diantaranya adalah tahniah di waktu ‘Id.
Semoga Allah menerima amal kami dan kalian dengan sebaik-baik amalan, dan “kullu ‘am wa antum bikhair” (semoga setiap tahun kalian senantiasa dalam kebaikan), semoga ‘Ied kalian diberkahi, dan semoga Allah mengembalikan kita untuk kembali merayakan ‘Ied dibawah naungan Khilafah Islamiyyah.
Maktabah Al-Himmah
0 Response to "Shalat ‘Ied : Adab-Adab dan Hukum-Hukumnya Sesuai Sunnah Nabi"
Post a Comment